keturunan dengan perbandingan
yang berbeda dengan hukum Mendel. Semisal, dalam suatu persilangan monohibrida
(dominan resesif), secara teori, akan didapatkan perbandingan 3:1, sedangakan
pada dihibrida didapatkan perbandingan, 9:3:3:1. Namun pada kasus tertentu,
hasilnya bisa lain, misal untuk monohibrida bukan 3:1 tapi 1:2:1. Dan pada
dihibrida, mungkin kombinasi yang mucul adalah, 9:6:1 atau 15:1. Munculnya
perbandingan yang tidak sesuai dengan hukum Mendel ini disebut
"Penyimpangan Semu Hukum Mendel", kenapa "Semu", karena
prinsip segregasi bebas tetap berlaku, hal ini disebabkan oleh gen-gen yang membawa
sifat memiliki ciri tertentu. Penyimpangan hukum Mendel dibagi menjadi tiga;
epistasis-hipostasis, kriptomeri, dan polimeri.
Epstasis-Hipostasis
Ketika gandum berkulit hitam disilangkan dengan gandum berkulit kuning, muncul F1 gandum berkulit hitam. Kita dapat menduga bahwa faktor hitam dominan terhadap kuning. Namun pada F2 dihasilkan keturunan dengan perbandingan 12 hitam : 3 kuning : 1 putih. Perbandingan ini berbeda dengan hukum Mendel.
Sebenarnya perbandingan tersebut berasal dari (9+3):3:1. Dari perbandingan ini tampak bahwa persilangan tersebut merupakan persilangan dihibrida. Faktor yang dominan tidak tidak hanya faktor hitam, melainkan juga faktor kuning yang memiliki angka perbandingan 3.
Dengan demikian faktor warna tidak ditentukan oleh satu gen, melainkan oleh dua gen yang lokusnya berbeda. Artinya, gen penentu warna hitam yang dominan berada terpisah dari gen penentu warna kuning yang juga dominan. Tiap-tiap warna memiliki alel tersendiri.
Jika kedua gen yang tidak sealel itu hadir bersama dalam satu individu, maka akan menampilkan fenotipe gen yang menutupi atau menghalangi, yang dikenal sebagai gen epistasis. Jadi, jika faktor hitam dan kuning hadir bersama, fenotipe yang muncul adalah fenotipe hitam. Maka, hitam epistatik terhadap kuning, dan kuning hipostatik terhadap hitam.
Jika di dalam individu hanya ada gen yang ditutup atau dihalangi, maka fenotipe yang muncul adalah fenotipe dari gen yang dihalangi tersebut. Gen ini disebut gen hipostasis. Tak adanya gen dominan dalam pada individu akan memunculkan sifat baru, dalam contoh ini putih.
Kesimpulan mengenai epistasis dan hipostasis adalah sebagai berikut:
Ada dua gen sama-sama dominan dan terletak pada lokus yang berbeda.
Ada gen yang bersifat hipostasis maupun epistasis.
Kehadiran kedua gen dominan tersebut akan memunculkan fenotipe dari gen yang epistasis biasa, dalam contoh diatas hitam.
Kehadiran gen yang hipostasis akan memunculkan fenotipe dari gen hipostasis.
Ketidakhadiran dari kedua gen dominan akan memunculkan fenotipe baru, tidak tampak pada parentalnya.
Contoh:
P : HHkk X hhKK
Gamet : Hk, hK
F1 : HhKk
F1XF1 : HhKk X HhKk
Gamet : HK, Hk, hK, hk
F2 :
Epstasis-Hipostasis
Ketika gandum berkulit hitam disilangkan dengan gandum berkulit kuning, muncul F1 gandum berkulit hitam. Kita dapat menduga bahwa faktor hitam dominan terhadap kuning. Namun pada F2 dihasilkan keturunan dengan perbandingan 12 hitam : 3 kuning : 1 putih. Perbandingan ini berbeda dengan hukum Mendel.
Sebenarnya perbandingan tersebut berasal dari (9+3):3:1. Dari perbandingan ini tampak bahwa persilangan tersebut merupakan persilangan dihibrida. Faktor yang dominan tidak tidak hanya faktor hitam, melainkan juga faktor kuning yang memiliki angka perbandingan 3.
Dengan demikian faktor warna tidak ditentukan oleh satu gen, melainkan oleh dua gen yang lokusnya berbeda. Artinya, gen penentu warna hitam yang dominan berada terpisah dari gen penentu warna kuning yang juga dominan. Tiap-tiap warna memiliki alel tersendiri.
Jika kedua gen yang tidak sealel itu hadir bersama dalam satu individu, maka akan menampilkan fenotipe gen yang menutupi atau menghalangi, yang dikenal sebagai gen epistasis. Jadi, jika faktor hitam dan kuning hadir bersama, fenotipe yang muncul adalah fenotipe hitam. Maka, hitam epistatik terhadap kuning, dan kuning hipostatik terhadap hitam.
Jika di dalam individu hanya ada gen yang ditutup atau dihalangi, maka fenotipe yang muncul adalah fenotipe dari gen yang dihalangi tersebut. Gen ini disebut gen hipostasis. Tak adanya gen dominan dalam pada individu akan memunculkan sifat baru, dalam contoh ini putih.
Kesimpulan mengenai epistasis dan hipostasis adalah sebagai berikut:
Ada dua gen sama-sama dominan dan terletak pada lokus yang berbeda.
Ada gen yang bersifat hipostasis maupun epistasis.
Kehadiran kedua gen dominan tersebut akan memunculkan fenotipe dari gen yang epistasis biasa, dalam contoh diatas hitam.
Kehadiran gen yang hipostasis akan memunculkan fenotipe dari gen hipostasis.
Ketidakhadiran dari kedua gen dominan akan memunculkan fenotipe baru, tidak tampak pada parentalnya.
Contoh:
P : HHkk X hhKK
Gamet : Hk, hK
F1 : HhKk
F1XF1 : HhKk X HhKk
Gamet : HK, Hk, hK, hk
F2 :
Gamet
|
HK
|
Hk
|
hK
|
hk
|
HK
|
HHKK
|
HHKk
|
HhKK
|
HhKk
|
Hk
|
HHKk
|
HHkk
|
HhKk
|
Hhkk
|
hK
|
HhKK
|
HhKk
|
hhKK
|
hhKk
|
Hk
|
HhKk
|
Hhkk
|
hhKk
|
hhkk
|
Penyimpangan semu hukum Mendell
merupakan bentuk persilangan yang menghasilkan rasio fenotif yang berbeda
dengan dasar dihibrid menurut hukum Mendell. Meskipun tampak berbeda sebenarnya
rasio fenotif yang diperoleh merupakan modifikasi dari penjumlahan rasio
fenotif hukum Mendel semula.
Penyimpangan semu hukum mendel
Menuru hukum mendel, rasio perbandingan fenotop F2
pada persilangan dihirid
adalah 9 : 3 : 3 : 1. Namun, pada beberapa kejadian hasil
perbandingan fenotip F2 tidak
sesuai (menyimpang) dari hukum mendel. Meskipun demikian
angka perbandingan
yang muncul masih berkisar pada angka perbandingkan 9 : 3
: 3 : 1. Contohnya, 15 : 1
atau (9+3+3) :1 dan 12 : 3 :1 atau (9+3) : 3 :1. Kejadian
tersebut dikenal dengan istilah
penyimpangan semu hukum mendel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar